Sumbawa, RumahInformasiSamawa.com – Entah sudah berapa tulisan, berapa liputan tentang pulau ini. Julukan terpadat di dunia, kambing makan kertas, ritual Tibaraki, Toyah, kelezatan seafood yg memanjakan lidah, magisnya bendera kebesaran Lipan Api dan kekhasan budaya lainnya, sudah sering sekali diulas. Kali ini saya mengupas sisi lainnya.
Awalnya pulau ini – semula disebut gusung – dimanfaatkan untuk menjemur jala oleh para nelayan. Kemudian gusung yang sering timbul-tenggelam mengikuti pasang surutnya air laut itu ditimbun dengan batu karang, jadilah daratan sampai sekarang.
Pada tahun 1942 dari hanya seluas 3 hektar menjadi lebih dari 6 hektar. Konon daratan pulau ini bertambah sekitar 30-60 are setiap tahunnya. karena setiap yang ingin berkeluarga diharuskan membuat tempat mendirikan rumah terlebih dahulu dari timbunan karang dan pasir.
Kini pulau Bungin yang secara administratif adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Alas, Sumbawa, memiliki luas 8,5 hektare, dengan lebih dari 5.000 penduduk (BPS 2014).
Bandingkan Bungin dengan 10 pulau terpadat di dunia, seperti Santa Cruz del Isolte di Kolombia, yg memiliki luas hanya 2,4 hektar, tapi pulau itu dihuni sekitar seribu orang. Atau pulau Fadiouth yg terletak tidak jauh dari Petite Cote of Senegal, memiliki luas 0,15 km persegi, meski kecil, dihuni oleh sekitar 9 ribu orang yang membuat pulau ini jadi begitu padat.
Jadi fakta sebenarnya, banyak pulau2 lain di dunia yg lebih padat dari Bungin.
Mayoritas penghuni pulau Bungin adalah Suku Bajo dari Sulawesi Selatan yang telah menghuni Bungin sejak 200 tahun silam. Tetua di Bungin mengisahkan bahwa awalnya pulau itu berupa gundukan pasir ( disebut Bungin dalam bahasa Bajo).
Pemukiman pertama dirintis oleh Panglima Mayu, salah satu dari 6 anak Raja Selayar. Orang Bungin sekarang adalah generasi ke-5 dan ke-6 dari pemukim pertama yang tinggal di Bungin (Wikipedia).
Seiring meningkatnya jumlah penduduk dan keterikatan emosional yang kuat dengan laut, penambahan lahan untuk membuat rumah tidak bisa dihindari. Perluasan lahan dilakukan dengan cara menumpuk batu karang sesuai kebutuhan rumah yg akan dibangun diatasnya, Cara ini jelas2 berdampak buruk pada ekosistem terumbu karang yang menjadi rumahnya ikan dan biota laut lainnya.
Meski masyarakat Bajo punya kesepakatan kolektif untuk tidak merusak terumbu karang, “pamali membenturkan batu dengan batu”, begitu yang selalu diajarkan untuk menjaga lingkungan laut. Sehingga pantangan bagi nelayan melabuhkan jaring, batu pemberat perahu ke terumbu karang agar tidak rusak.
Namun kearifan adat ini seringkali diabaikan akibat desakan kebutuhan akan lahan hunian. Angka populasi penduduk yang terus meningkat, tercatat setidaknya 30 pernikahan terjadi dan 100 rumah bertambah tiap tahun, dengan kepadatan 59-100an jiwa/KM persegi. Laju peningkatan jumlah penduduk ini jelas tidak berimbang dengan ketersediaan lahan, sehingga banyak dijumpai satu rumah dihuni oleh 3 sampai 4 keluarga. Rumah2 dibangun berhimpitan, hampir tidak ada ruang terbuka di sana.
Tadinya hanya karang-karang mati yang boleh diambil, itupun dibatasi banyaknya dan harus diambil dari tempat yang jauh dari pulau, tapi kemudian karang hidup menjadi sasaran pengambilan.Kerusakan ini semakin parah oleh tindakan oknum yg mencari ikan dengan cara ilegal, memakai peledak dan potasium.
Upaya lain, untuk mengatasi keterbatasan lahan itu, diinisiasi oleh Tison Sahabudin bersama dengan pemuda Bungin lainnya, dengan melakukan reklamasi, sayangnya upaya ini juga terbentur aturan reklamasi oleh pemerintah (BBC News Indonesia, 16 Oktober 2016).
Hidup berdesakan di Pulau Bungin tampaknya masih akan terus terjadi karena suku Bajo yang tinggal di sini memiliki keterikatan kuat dengan tanah kelahiran. jarang sekali dari mereka yang hidup merantau dan menetap di luar pulau.
Saya menjadi saksi hidup, karena lahir dan dibesarkan di Alas, menyaksikan sendiri perubahan kondisi lingkungan perairan sekitar Bungin sebelah Timur, dari Labuhan Alas, Ai Tawar, sampai Keramat. Area itu menjadi tempat favorite ‘Nyulu’ (mencari kepiting, udang dan ikan dimalam hari) dan ‘Bakalili’ ( mencari kerang, kepiting saat laut surut), sewaktu remaja dulu.
Sekarang kondisinya kontras berbeda. Saat laut surut sudah jarang terlihat gugusan karang di perairan dangkal di area tersebut. Kerang lokan tidak semelimpah dulu lagi, yang terlihat hamparan pasir sejauh mata memandang. Lalu dimana ikan beranakpinak ?, pertanyaan ini tidak usah dijawab.
Maaf sebelumnya tulisan ini tidak bermaksud, menyesali kerusakan lingkungan yg kadung terjadi, tapi justru mengajak berpikir dan aksi solutif konstruktif untuk memperbaiki kembali. Upaya budi daya dan transplantasi karang yang telah dilakukan anak2 muda Bungin itu patut didukung dan dan digalakkan, perluasan hutan Mangrove di sisi pantai harus terus dilakukan. Dan setelah pemerintah membangun jalan penghubung Bungin dengan daratan, akses penduduknya semakin mudah, sudah banyak orang Bungin yg memilih hidup di luar pulau.
Pulau Bungin kini bukan hanya milik orang Bungin, tapi milik kita semua. Bungin yang sudah mendunia punya prospek ekonomis dari segi pariwisata, ini menuntut tanggungjawab bersama untuk menjaga kualitas lingkungannya, agar orang Bungin yg menggantungkan hidupnya dari hasil laut punya jaminan masa depan. (wahyuddin samawa)
(Sumber Foto, Koleksi Subhansyah).