Home Sosial & Keagamaan Menyemaikan Persepsi Peringatan Hari Ibu

Menyemaikan Persepsi Peringatan Hari Ibu

79
0
SHARE

Tulisan ini bertujuan untuk memperluas refrensi tentang Bagaimana Hukum Memperingati Hari Ibu. Pada hari Jum’at 22/12/2017 pukul 20:41 Wita atau malam Sabtu saya tertarik menulis tentang hal ini karena banyak sekali pro dan kontra say abaca mulai dari Media Sosial seperti Facebook kemudian status di WA dan debat kusir di pinggir-pinggir jalan sekitar rumah saya. Melalui ini saya akan mencoba memberikan gambaran mengenai boleh tidaknya akan hal itu.

Peringatan Hari Ibu yang ke-89 pada tanggal 22 Desember 2017 ini memang sangat saya rasakan terlebih lagi di sekitran rumah saya rela malam-malam mencai hadiah untuk merayakan Hari Ibu. Sebelum masuk kepada pendapat para ulama mengenai peringatan Hari Ibu, semua pada dasarnya boleh-boleh saja sesuai dengan Dasar Hukum Penyelenggaraan PHI Ke-86 tahun 2014[1]. Jadi dari segi Hukum Negara Indonesia juga tidak melarang siapapun dalam memperingati namun sesuai dengan bunyi pada nomer ke-7 yakni “Keputusan Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang bukan hari libur”. Jadi boleh-boleh saja asalkan jangan sampai itu nantinya akan berdampak kepada yang lain artinya kewajiban yang sesungguhnya jangan sampai terabaikan jika akan melakukan atau merayakan hari-hari yang berkaitan denagn sifatnya pribadinimisme.

Kemudian banyak yang mengatakan hal-hal seperti ini adalah perbuatan yang Bid’ah san tidak pernah dikenal pada masa para Shalafussaleh. Bisa saja pernyataan atau perbuatan tersebut dimulai dari kaum kafir kecuali hari-hari raya yang sudah di Syari’atkan dan telah diketahui oleh para kaum Muslimin. Dan akhirnya mereka mengatakan bahwa semua hari raya itu di tolak kepada pelakunya dan Bathil dalam hukum Allah swt. Nabi Muhammad saw .

رَدٌّ فَهُوَ لَيْسَمِنْهُ مَا اهَذَ أَمْرِنَا فِيْ أَحْدَثَ مَنْ

“Barang siapa yang mengada-adakan suatu perbuatan dalam urusan kami yang bukan termasuk bagian darinya, maka perbuatan itu ditolak.” (Muttafaq ‘alaih, dari hadits Aisyah).”.[2]

Kemudian apakah merayakan Hari Ibu itu boleh.?

Tanpa kita memperingati Hari Ibu juga kita tetap di Wajibkan untuk taat dan patuh kepadanya sesuai firman Allah swt.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqmân 31: 14)

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (Al-Isrâ` 17: 23).

Hal ini tidak lain karena Allah menjadikan kedua orang tua sebagai sebab atau wasilah dalam penciptaan manusia. Tentunya semua ini merupakan penghormatan dan pemuliaan yang istimewa bagi kedua orang tua.

Jadi dari berbagai artikel, buku dan penjelasan yang pernah saya dengar bahwa memperingati hari Ibu itu tidak ada larangan selama dalam konteks yang Wajar dan tetap dalam bingkai Islami artinya nilai manfaatnya lebih besar daripada nilai negatif. Saya juga pernah mendenagr ceramah TGH. M. Nur, S.Pd.I (pengasuh pondok pesantren Nurul Ulum Mertak Tombok) bahwa ketika Rasulullah di Tanya oleh seorang sahabat “mengapa engkau berpuasa hari ini ya Rasulullah”.? Beliau menjawab “karena hari ini adalah hari kelahiranku”. Jadi selama hal itu kita laksanakan dalam Kebajikan dan tidak berlebihan maka itu boleh-boleh saja dilakukan. Sesuai firman-Nya.

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan & minumlah, & janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf 7:31)[3]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here