Home Budaya DINULLAH RAYES

DINULLAH RAYES

189
0
SHARE

Sumbawa, RumahInformasiSamawa.com – Hari ini saya tergerak menulis tentang seorang sastrawan sekaligus budayawan Sumbawa yang dikenal bukan hanya di skala nasional, tapi sudah diakui di berbagai negara, beliau adalah Dinullah Rayes.

Gara-gara notifikasi teman2 yang berulang tahun, di pojok wall fb saya, muncul nama fb beliau, tapi ternyata itu salah, mungkin tgl hari ini saat beliau pertama kali menggunakan aplikasi fb, atau tgl lahir acak yg dicantumkan di bionya. Karena beliau lahir tgl. 7 Februari 1939 di Kalabeso, desa kecil di kaki bukit, Kecamatan Buer, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, ayahnya Lalu Muhidin Rayes dan ibunya bernama Ringgi. Beliau menikah dengan gadis sekampungnya, Siti Aisyah, tanggal 15 Oktober 1958.

Tapi tidak apa-apa, saya tetap sangat ingin menulis tentang beliau, cuma maaf kalau agak panjang. Waktu SD dulu saya diajak alm. bapak, mengunjungi sahabat katanya sesama guru di Kalabeso, di sebuah rumah panggung sederhana, bapak saya dan sahabatnya itu pun larut dalam obrolan panjang. Saya lupa apa yang mereka obrolkan, bertahun-tahun kemudian saya baru tahu kalau, sahabat bapak itu ternyata Dinullah Rayes.

Din Rayes (panggilan akrab beliau) menjadi guru SD dari tahun 1956 hingga 1965. Kemudian menjadi Kepala Bidang Kebudayaan Kabupaten Sumbawa, lalu sebagai Kepala Seksi Kebudayaan Kandep Dikbud Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Beliau juga dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Sumbawa serta Ketua Lembaga Adat Tana Samawa.

Sebagai bukti kepedulian dan kecintaannya pada budaya Sumbawa, Ia membangun balai seni budaya di kaki bukit kampung kelahirannya Kalabeso. Balai tersebut dinamakannya ‘Ringgi’, dari nama sang ibunda tercinta, balai itu berfungsi sebagai tempat latihan seni tradisional dan non tradisional.

Beliau secara otodidak telah aktif menulis sejak 1956. Dalam rupa puisi, cerpen, esai, naskah drama, serta artikel kesenian dan kebudayaan yang dimuat di berbagai media massa, seperti Abadi, Pelita, Suara Karya, Panji Masyarakat, Salemba, Tifa Sastra, Seloka, Horison, Sarinah, Suara Muhammadiyah, Harmonis, Amanah, Sinar Harapan, Forum, Tribun, Swadesi, Republika, Bali Post, Nusa Tenggara, Suara Nusa, Dewan Sastra Malaysia, dan lainnya.

Tahun 2007 tanpa dinyana, terjadi musibah, rumahnya terbakar, seluruh harta kekayaan paling berharga berupa ribuan buku hangus menjadi abu. Buku-buku koleksi yang menjadi bagian hidup dan karya-karyanya yang dikumpulkan sejak 1950-an lenyap tak berbekas.

Meski harta intelektualnya hilang akibat ganasnya si jago merah, ia tetap giat berkarya minimal satu buku setiap tahun. Baginya dunia sastra adalah nafas kehidupan. Sejak tahun 2006 sampai sekarang sudah menghasilkan 16 karya dari total 25 karya tunggal. Jika dijumlahkan dengan antologi, Dinullah sudah menghasilkan 72-an buah buku.

Tentang produktifitasnya menulis ini, beliau pernah berkata, “saya tidak akan kaya seperti pelukis, tapi, kepuasan batin itu ada”.Beliau pernah menetap di Mojokerto bersama istrinya dan seringkali pulang-pergi Jawa-Sumbawa. Meski demikian di sana beliau tetap ingat Sumbawa, mungkin itu latar beliau menterjemahkan Lawas populer ini :

“Lamin andi dunung notang sowe santek bonga bintang, pang bulan batemung mata””jika engkau lebih dulu merindu,singkapkan atap tataplah gemintang di wajah bulan kita bertemu pandang”.(Ngoro Industri, Mojokerto Maret 2010).

Banyak penyair senior tanah air seangkatannya yang kini jarang muncul di jagad kesusastraan. Sebut saja Sutardji Colzoum Bahri, sebagai presiden penyair seharusnya SCB banyak melahirkan karya puisi. Hanya buku O Amuk Kapak yang paling kita ingat . Atau Agus R. Sardjono, Diah Hadaning, Piek Ardijanto Soepriadi, atau LK. Ara. Tapi Dinullah tetap konsisten menulis, setidaknya setiap tahun ia menerbitkan buku.Demi gelora syahwat sastranya,

Dinullah Rayes, sering menjual kuda dan kerbau peliharaannya untuk biaya kegiatan sastra dan mengikuti acara sastra di luar kota. Luar biasanya, meskipun rumahnya pernah terbakar, Dinullah masih saja dengan penuh semangat menghadiri acara-acara sastra di Jawa dengan biaya pribadi. Dinullah Rayes adalah pahlawan sastra. Ia rela mengorbankan apa saja untuk ikut memajukan kesastraan tanah air, tanpa peduli harta benda, waktu, jarak, dan usia.

Ridhwan Karim, pernah menulis opini berjudul “Dinullah Rayes, Penyair Sepanjang Masa Indonesia” di portal berita online Pulau Sumbawa News, 22 Februari 2018. Ia menulis kekagumannya pada Dinullah. Menurutnya karya-karya Dinullah, menggunakan ungkapan yang sederhana dan bunga kata-katanya tidak memberatkan tangkainya. Hal ini senada dengan apa yang pernah ditulis oleh Almarhumm Korrie Layun Rampan di dalam buku, “Puisi Indonesia Hari ini” Sebuah Kritik terbitan tahun 1985, bahwa sama seperti D. Zawawi Imron, Dinullah Rayes menyajikan sajak-sajaknya dengan tema-tema kecil dengan suasana alam yang sepi.

Saat kita mati-matian mencari diksi dan metafora dalam menulis puisi, Dinullah justru memilih kata-kata yang sederhana namun dalam dan syarat makna. Seperti kata beliau, bahwa menulis puisi itu tidak perlu menggunakan diksi tinggi-tinggi yang terpenting ditulis secara jujur, rendah hati, dan mengandung nilai-nilai kebenaran.

Dinullah adalah sosok religius yang terungkap dalam puisi-puisinya sangat akrab dengan nilai-nilai Ilahiyah. Dinullah layaknya seorang “ulama” yang tidak pernah berhenti berdakwah lewat karyanya. Tulisannya teramat tenang menyejukkan, tutur ucapnya yang manis-manis lembut, dan berpenampilan sederhana seperti pribadi penyairnya.Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Salah satu sajaknya yang berjudul “Mencari Mimpi”, diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia oleh ahli sastra asal Uni Soviet yaitu Prof. Dr. Victor Pogadaev.

Tidak hanya penulis-penulis dalam negeri yang mengulas karyanya melainkan ahli dan kritikus sastra luar negeri. Atas dedikasinya tersebut melalui Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1996 Kementerian Agama RI memberikan kesempatan kepadanya untuk menunaikan ibadah haji.

Beberapa penghargaan juga pernah ia raih, diantaranya tahun 2015 mendapat anugerah Bahasa dan Sastra dari Pusat Bahasa Provinsi NTB, hadiah seni dan lencana karya satya tingkat II dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Selain itu, beliau pernah diundang dalam wisuda gelar kehormatan dari American University of Hawai.Dengan rasa kagum yang setara dengan Ridhwan Karim dalam opininya, saya mengutip sebuah puisi Dinullah dari buku kumpulan puisi beliau “Petir Cinta Maha Cahaya” yang terbit tahun 2016. CINTA DAN CINTA Cintamu padaku dan cintaku padamu terpeta Ketika hujan turun lebatAirnya mengalir, menyelusup pori-pori tanah Akar-akar rerumputan, pepohonan gegas Mereguk air langit-Mu Seputar lidah-lidah daun bunga-bungapun Mengirim senyum harum mewangi Cintaku padamu dan cintamu padaku tertata rapi Apabila bulan dan bintang berpacaran Di latar cuaca musim semi Sinar dan cahaya luluh Lalu mengantar kilat cahaya Badai gelap jelma damai gemerlap Cinta kita tak mengenal musim Badan batin Membajak jutaan sajak Sebuah balada bunga dan bulan Berkisah kasih antara yang mencintai Dan yang dicintai Adalah kau dan aku selalu bertemu Di pucuk rindu.—————————————————“Ayahanda Dinullah”, meski anda hanya sahabat bapak saya dan tak ada kaitan biologis, ijinkan saya memanggil anda ayahanda, karena anda adalah salah satu patron kecintaan saya berpuisi, semoga panjang umur, tetap sehat dan terus berkarya. Ayahanda seperti pohon Iprik tua, namun akar2 sulurnya menancap kuat di tanah, tempat kami anak2 muda berpegang dan belajar tentang sastra dan budaya.Semua ibu memang melahirkan anak, tapi tidak dengan ibu Ringgi, dia telah melahirkan legenda.Dan akhirnya kita harus mengakui, Dinullah Rayes bukanlah seorang penulis puisi, tapi dia adalah puisi itu sendiri …..diolah dari berbagai sumber(Alas, 1 Desember 2020)

penulis : Wahyuddin Samawa

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here